Minggu, 23 Juni 2013

Makalah Etika dan Hukum Keperawatan

Makalah Etika dan Hukum Keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN


1.        LATAR BELAKANG
Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Namun di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum.
Bahkan profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti  gugatan malpraktik sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif.

Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau “kemandirian”, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan.
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yakni, pertama; fungsi independent, adalah those activities that are considered to be within nursing’s scope of diagnosos and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak membutuhkan perintah dokter, kedua; fungsi interdependen adalah carried out in conjunction with other health team members.  Tindakan perawat yang berdasarkan pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Kewenangan yang dimiliki dalam menjalankan fungsi ini disebut sebagai kewenangan delegasi karena diperoleh karena adanya suatu pendelegasian tugas dari dokter kepada perawat, ketiga; fungsi dependen adalah the activities performed based on the physician’s order. Di sini  perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik, memberikan pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter yang seharusnya dilakukan oleh dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntukan dan sebagainya.

Dilihat dari peran perawat, maka secara garis besar perawat mempunyai peran sebagai berikut peran perawatan (caring role/independent), peran koordinatif (coordinative role/interdependent), dan peran terapeutik (therapeutik role/dependent)
Tugas pokok perawat apabila bekerja di RS adalah memberikan pelayanan berbagai perawatan paripurna. Oleh karena itu tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran perawat di atas. Dalam peran perawatan dan koordinatif, perawat mempunyai tanggung jawab yang mandiri. Sementara peran terapeutik bahwa dalam keadaan tertentu beberapa kegiatan diagnostik dan tindakan medik dapat dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh perawat.

2.        RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang saya tampilkan disini adalah bagaimana kinerja seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga medis atau kesehatan dalam menangani klien atau pasiennya?


BAB II
ISI



PEMBAHASAN
The New York Supreme Court mendiskusikan perbedaan antara kelalaian biasa dan malpraktik yang melibatkan profesional perawatan kesehatan dalam kasus Borrillov. Beekman Downtown Hospital (1989). Perbedaan bergantung pada tindakan atau pengabaian yang terlibat pada masalah tentang “ilmu atau seni kedokteran yang memerlukan keterampilan khusus yang tidak dimiliki orang biasa,” atau bahkan dapat dpahami berdasarkan pengalaman individu setiap hari pada juri. Jika diperlukan opini profesional dari seorang ahli dengan keterampilan dan pengetahuan khusus, teori tentang malpraktik lebih berlaku daripada kelalaian biasa.
Kelalaian adalah perilaku yang tidak sesuai standar perawatan. Malpraktik terjadi ketika asujhan keperawatan yang tidak sesuai yang menuntut praktik keperawatan yang aman. Tidak perlu ada kesengajaan, suatu kelalaian dapat terjadi. Kelalaian ditetapkan oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap risiko bahaya yang tidak seharusnya. Ini dikarakterisasikan oleh ketidakperhatian, keprihatinan, atau kurang perhatian. Kelalaian atau malpraktik bisa mencakup kecerobohan, seperti tidak memeriksa balutan lengan yang memungkinkan pemberian medikasi salah. Bagaimanapun kecerobohan tidak selalu sebagai penyebab. Jika perawat melakukan prosedur di mana mereka telah terlatih dan melakukan dengan hati-hati,tetapi masih membahayakan klien, dapat membuat tuntutan kelalaian atau malpraktik. Jika perawat memberikan perawatan yang tidak memenuhi standar mereka dapat dianggap lalai. Karena tindakan ini dilakukan oleh seorang profesional, kelalaian perawat disebut sebagai malpraktik.

Contoh kasus malpraktik adalah sebagai berikut :
Seorang bayi berumur 15 hari meninggal dunia dalam perawatan medis di Balai Layanan Umum Rumah Sakit Umum Daerah (BLU-RSUD) dr Fauziah Bireuen, Jumat (5/9) pagi. Kasus itu diduga akibat kelalaian perawat yang sebelumnya sempat diminta melanjutkan arahan dokter dari UGD untuk segera dikonsultasikan ke dokter spesialis anak.
Informasi yang diperoleh Analisa di rumah sakit itu menyebutkan, bayi berusia 15 hari yang diberi nama Fadila Albayhaki merupakan bayi pasangan warga Gampong Raya Tambo, Peusangan, diterima petugas UGD pada Kamis (4/9) malam pukul 20.10 WIB dengan keluhan sesak nafas.
Dijelaskan, seharusnya pasien pada kondisi kritis wajib segera dikonsultasi kepada dokter spesialis, akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh perawat. Itu adalah sebuah bentuk pelanggaran yang mengakibatkan pasien meninggal dunia.

            Dalam kasus di atas dapat kita simpulkann bahwa perawat tersebut masih belum melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga ia lalai dan terjadi malpraktik yang mengakibatkan pasien meninggal dunia. Perawat profesional harus memahami batasan legal yang mempengaruhi praktik sehari-hari mereka. Hal ini dikaitkan dengan penilaian yang baik dan menyarankan pembuatan keputusan yang menjamin asuhan keperawatan yang aman dan sesuai. Perawat harus melakukan semua prosedur secara benar. Mereka juga harus menggunakan penilaian profesional saat mereka juga harus menggunakan penilaian profesional saat mereka menjalankan program dokter dan juga terapi keperawatan mandiri di mana mereka berwenang. Setiap perawat yang tidak memenuhi standar praktik atau perawatan yang dapat diterima atau melakukan tugasnya dengan ceroboh berisiko dianggap lalai.
Karena malpraktik adalah kelalaian yang berhubungan dengan praktik profesional, kriteria berikut harus ditegakkan dalam gugatan hukum malpraktik terhadap seorang perawat:
1.      Perawat (terdakwa) berhutang tugas kepada klien (penggugat)
2.      Perawat tidak melakukan tugas tersebut atau melanggar tugas perawatan
3.      Klien cedera
4.      Baik penyebab aktual dan kemungkinan mencederai klien adalah akibat dari kegagalan perawat untuk melakukan tugas.
Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi.
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan melanggar hukum  (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: (a).   Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri. (b). Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367 BW.  Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas.  Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien. (c). Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW. (d). Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu.
Perlindungan hukum dalam tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10 tersebut.
Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan dimintai pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu: (a). Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan  sesuai dengan fungsinya, peran maupun tindakan keperawatan. (b). Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Tindakan tersebut megakibatkan pasien mengalami infeksi saluran urine dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang. (c). Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien di malam hari hanya karena tidak mau terganggu istirahatnya. (d). Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya belum terlatih.
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai personal liability.

Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut; pertama;  suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010, kedua; mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien, ketiga; adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa), ketiga; tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar.
Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi  terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni: (a). Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri.  (b). Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10. (c).Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum.
Ada dua ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik. Sementara dalam Permenkes No, 148/2010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan.
Kerancuan norma ini akan membingungkan penyelenggara yan bersangkutan dala menjalankan profesinya. Namun apabila dilihat dari pembentukan perundang-undangan maka kekuatan mengikat undang-undang akan lebih kuat dibandingkan senuah peraturan menteri yang di dalam UU NO, 10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai bagian dari perundang-undangan.

Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum adminitarsi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin. Dalam praktek pelaksanaannya, banyak perawat yang melakukan praktik pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan dan penegakan diagnosa tanpa SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota Jambi, pelanggaran ini masih banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan pengawasan dan penerapan sanksi represif sebagai upaya pemerintah memberikan perlindungan pada masyarakat.





















BAB III
PENUTUP



1.    KESIMPULAN
Menjadi seorang perawat merupakan suatu pilihan hidup bahkan merupakan suatu cita-cita bagi sebagian orang. Namun, adapula orang yang menjadi perawat karena suatu keterpaksaan atau kebetulan, bahkan menjadikan profesi perawat sebagai alternatif terakhir dalam menentukan pilihan hidupnya. Terlepas dari semua itu, perawat merupakan suatu profesi yang mulia. Seorang perawat mengabdikan dirinya untuk menjaga dan merawat klien tanpa membeda-bedakan mereka dari segi apapun. Setiap tindakan dan intervensi yang tepat yang dilakukan oleh seorang perawat, akan sangat berharga bagi nyawa orang lain. Seorang perawat juga mengemban fungsi dan peran yang sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik kepada klien. Namun, sudahkah perawat di Indonesia melakukan tugas mulianya tersebut dengan baik? Bagaimanakah citra perawat ideal di mata masyarakat?
Pelayanan keperawatan didefinisikan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat, keluarga, kelompok khusus, individu, dan sebagainya, pada setiap tingkat, sepanjang siklus kehidupan pasien.
Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, para perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya hanya membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Jika dulu hanya menjalankan perintah dokter, sekarang ingin diberi wewenang memutuskan berdasarkan ilmu keperawatan dan bekerja sama dengan dokter untuk menetapkan apa yang terbaik bagi pasien.
Pedoman legal yang harus diikuti perawat diambil dari undang-undang, hukum pengaturan dan hukum adat.
Hukum statuta dibuat oleh badan legislatif elektif seperti legislatur negara dan kongres Amerika. Contoh dari undang-undang negara adalah undang-undang praktik keperawatan yang ditemukan di 50 negara bagian. Undang-undang praktik keperawatan ini menjelaskan dan mendefinisikan batasan legal dari praktik di negara bagian masing-masing. Contohnya, undang-undang praktik keperawatan mendefinisikan tanggung jawab perawat untuk administrasi dan pemberian resep medikasi.


2.    SARAN
Sebagai seorang tenaga medis / kesehatan ( perawat pada khususnya ) haruslah memiliki etik keperawatan yang tidak hanya dimiliki tetapi dihayati dan diterapkan dalam menjalankan tugas-tugas untuk melakssanakan asuhan keperawatan terhadap klien / pasien. Pasien tidak hanya dijadikan klien namun juga dijadikan parner aktif dalam pemberian / peningkatan derajat kesehatannya.


DAFTAR PUSTAKA



Anonim. 2008. Kelalaian perawat. Internet. Di update 17 Juni 2011.
Anonim. No date.
Ismani, N. 2001. Etika keperawatan. Jakarta: Widya Medika.

Hak Individu Yang Akan Meninggal


HAK INDIVIDU YANG AKAN MENINGGAL

1.      PENGERTIAN HAK
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu oleh siapa pun.
Hak perawat adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas, dan legalitas.
            Menurut C. Tagin (1975) hak perawat merupakan tuntutan terhadap sesuatu, dimana seseorang mempunyai hak-hak istimewa yang berupa tuntutan yang berdasarkan keadilan, moralitas atau legalitas. Hak dapat dipandang dari berbagai sudut, diantaranya :
1. Hak dari sudut hukum
Hak mempunyai atau memberi kekuasaan untuk mengendalikan situasi, misalnya seseorang mempunyai hak untuk masuk restoran dan membeli makanan yang diinginkannya. Dalam hal ini, jika ditinjau dari sudut hukum orang yang bersangkutan mempunyai kewajiban yang menyertainya yaitu orang tersebut diwajibkan untuk berprilaku sopan dan membayar makanan tersebut (Fromer 1981).
2.  Hak dari sudut pribadi
     Hak kerahasiaan terhadap dokumen serta hasil baik secara lisan maupun tulisan, yang diberikannya terhadap petugas kesehatan kecuali untuk pentingan.



2.      JENIS - JENIS HAK
A.    Hak-hak asasi manusia tersebut meliputi :
1)      Hak hidup
2)      Hak kemerdekaan
3)      Hak memiliki sesuatu
4)      Hak mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan
5)      Hak khusus dan hak umum
6)      Hak positif dan hak negatif
7)      Hak individual dan hak sosial (Bertens.2002.hlm.184-187)

3.      PERANAN HAK
a.       Hak dapat digunakan sebagai pengekspresian kekuasaan dalam konflik antara seseorang dengan kelompok.
b.      Hak dapat digunakan untuk memberikan pembenaran pada suatu tindakan.
c.       Hak dapat digunakan untuk menyelesaikan persilisihan. Seseorang sering kali dapat menyelesaikan suatu perselisihan dengan menuntut hak yang juga dapat diakui oleh orang lain. (Dalami.2010.hlm.53)

4.      HAK DAN KEWAJIBAN
A.    Perawat
1)      Hak Perawat
Menurut Claire Fagin (1975) perawat memiliki hak sebagai berikut:
a)      Hak memperoleh martabat dalam rangka mengekspresikan dan meningkatkan dirinya melalui penggunaan kemampuan khususnya dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
b)      Hak memperoleh pengakuan sehubungan dengan kontribusinya melalui ketetapan yang diberikan lingkungan untuk praktik yang dijalankan serta imbalan ekonomi sehubungan dengan profesinya.
c)      Hak mendapatkan lingkungan kerja dengan stres fisik dan emosional serta resiko kerja yang seminimal mungkin.
d)     Hak untuk melakukan praktik-praktik profesi dalam batas-batas hukum yang berlaku.
e)      Hak menetapkan standar yang bermutu dalam perawatan yang dilakukan.
f)       Hak berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berpengaruh terhadapa perawatan.
g)      Hak untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial dan politik yang mewakili perawat dalam meningkatkan asuhan kesehatan
2)      Kewajiban perawat
Menurut Claire Fagin (1975) perawat memiliki kewajiban sebagai berikut :
a)      Perawat wajib meningkatkan mutu pelayanan keperawatannya sesuai dengan standar profesi keperawatan demi kepuasan pasien/klien.
b)      Perawat wajib membuat dokumentasi asuhan keperawatan secara akurat dan berkesinambungan.
c)      Perawat wajib mengikuti perkembangan IPTEK keperawatan atau kesehatan secara terus-menerus.
d)     Perawat wajib melakukan pelayanan darurat sebagai tugas kemanusiaan sesuai dengan batas-batas kewenangannya.
e)      Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien/ pasien kecuali yang diminta keterangan oleh pihak yang berwenang.
f)       Perawat wajib memenuhi hal-hal yang telah di sepakati atau perjanjian yang telah dibuat sebelumnya terhadap institusi tempat bekerja



B.     Pasien
1)      Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien dan hak tersebut adalah :
a)      Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
b)      Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
c)      Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran / kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
d)     Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan
e)      Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
f)       Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
g)      Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku.
h)      Hak untuk memperoleh informasi / penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya.
i)        Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
j)        Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
k)      Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribadah dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
l)        Hak beribadah menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban, ketenangan umum / pasien lainya.
m)    Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit.
n)      Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya.
o)      Hak transparansi biaya pengobatan / tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
p)      Hak akses /’inzage’ kepada rekam medis / hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya. ( Herlambang.2011.hlm.45-46)
2)      Kewajiban pasien adalah :
a)      Pasien atau keluarganya wajib menaati segala peraturan dan tata tertib yang ada di institusi kesehatan dan keperawatan yang memberikan peraturan kepadanya.
b)      Pasien diwajibkan untuk mematuhi segala kebijakan yang ada, baik dari dokter ataupun perawat yang memberikan asuhan.
c)      Pasien dan keluarganya wajib untuk memberikan info yang lengkap dan jujur tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter atau perawat yang merawatnya.
d)     Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk menyelesaikan biaya perawatan dan pembiayaan yang diperlukan selama perawatannya.
e)      Pasien dan keluarganya wajib untuk memenuhi segala sesuatu yang diperlukan sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. ( Herlambang.2011.hlm.48)
3)      Hak individu yang akan meninggal (keadaan Terminal)
a)      Hak diberlakukan sebagaimana manusia hidup sampai ajal tiba.
b)      Hak untuk mempertahankan harapannya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi.
c)      Hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat mempertahankan harapannnya, apapun perubahan yang terjadi.
d)     Hak untuk megekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian yang sedang dihadapinya sesuai dengan kepercayaannnya.
e)      Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan perawatannya.
f)       Hak untuk memperoleh perhatian dalam pengobatan dan perawatan secara bersinambungan, walaupun tujuan penyembuhan harus diubah menjadi memberikan rasa nyaman.
g)      Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian.
h)      Hak untuk bebas dari rasa sakit.
i)        Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaanya secara jujur.
j)        Hak untuk memperoleh bantuan dari perawat atau medis untuk keluarga yang ditinggalkan agar dapat menerima kematiannya.
k)      Hak untuk meninggal dalam keadaan damai dan bermartabat.
l)        Hak untuk tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang bertentangan dengan kepercayaan yang dianutnya.
m)    Hak untuk memperdalam dan meningkatkan kepercayaanya, apapun artinya bagi orang lain.
n)      Hak untuk mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah yang bersangkutan meninggal
5.      Contoh Kasus tentang Hak dan Kewajiban Perawat dalam Etika Profesi Keperawatan
a.    Kasus
Surti (35 tahun) sejak tahun 2003 (10 Juni) adalah pasien (mondok) RS Griya Sehat. Diagnosa ahli penyakit dan ahli ginjal RS (berdasarkan hasil lab) dinyatakan bahwa pasien mengalami gagal ginjal. Untuk itu tidak ada cara lain selain melakukan cuci darah (hemodialisa/HD) atau melakukan cangkok ginjal.
Atas diagnosa dan saran dokter, pasien menyatakan tidak bersedia melakukannya. Kemudian pasien hanya mau dilakukan pengobatan melalui obat dan suntikan. Setelah merasa sehat, Surti atas permintan sendiri keluar dari RS (16 Juni).
Tahun 2004 (20 September), Surti masuk RS lagi di Griya Sehat juga. Diagnosa dokter tetap sama, bahwa pasien harus melakukan cuci darah atau cangkok ginjal. Namun Surti menolak dan tetap minta pengobatan seperti tahun 2003. Setelah merasa sehat, kembali atas permintaan sendiri Surti minta pulang (5 Oktober).
Awal tahun 2007 (16 Januari), Surti dibawa lagi ke RS. Saat itu kondisinya tampak lemas, napas terengah-engah dan merasa sesak. Saat masuk, dokter yang merawat menyatakan kritis dan tidak ada pilihan lain kecuali cuci darah. Dengan persetujuan salah satu kakaknya (Marwoto), karena Surti tidak dapat diajak bicara, kakaknya setuju untuk dilakukannya cuci darah/HD . Mengatasi masa kritis tersebut, dokter sudah menyatakan jika tubuh pasien masih mampu bertahan melewati masa kritis, HD dapat dilakukan maka akan selamat. Tetapi sebaliknya jika tidak, pasien tidak akan selamat. Atas penjelasan tersebut, keluarga pasien memahami dan menerima. HD kemudian dilakukan dan berjalan sampai 2 kali. Pada saat dilakukan HD yang ke- tiga, di ruang HD tiba-tiba Surti kejang-kejang dan sesak napas. Oleh para medis yang sedang menjalankan tugas, sudah dilakukan tindakan medik, namun ternyata Surti meninggal. Surti dinyatakan meninggal pada pukul 15.30 WIB, 22 Januari. Saat itu yang menunggu yaitu Marwoto dan Martinah (adik Surti). Marwoto dan Martinah merasa keanehan pada saat dilakukan HD yang ke 3, yaitu :
Kondisi Surti saat itu sebelum masuk ruang HD terlihat baik, bisa diajak omong, tidak ada tanda-tanda kritis. Surti dapat menangkap pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam tubuh Surti pada saat itu dilakukan traechoscomi (lubang pernapasan lewat tenggorokan). Para medik saat cuci darah tampak bergerombol dan membaca koran ataupun menonton  tv di ruang HD.
Saat Surti kejang, ada salah satu para medik yang mengomel / komentar “baru 1 jam HD kok udah kejang-kejang”.  Alat HD sering berbunyi dan jika berbunyi oleh para medik, alat HD ditekan-tekan oleh para medik. Setelah itu alat berhenti berbunyi. Pada suatu saat, alat HD berbunyi dan ditekan-tekan tetapi justru oleh cleaning service yang bukan menjadi kewenangannya. Atas keanehan tersebut, Marwoto dan Martinah menyampaikan pada anggota keluarga yang lain (Totok, Murniati dan Sugito/saudara kandung Surti).
Keanehan tersebut menyebabkan keluarga berkesimpulan bahwa para medik telah melakukan kesalahan atau setidak-tidaknya melakukan kelalaian. Kemudian mereka meminta penjelasan lebih lanjut pada dokter yang merawat. Merasa tidak puas, akhirnya mereka mencari ahli hukum (advokat) untuk menggugat RS Griya Sehat yang dinilai telah melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam menangani pasien yang mengakibatkan meninggalnya pasien.
Kuasa hukum dari keluarga meminta dan menuntut agar RS meminta maaf secara terbuka di media cetak dan membayar ganti rugi sebesar Rp 3 Milyar. Atas permintaan tersebut, maka dari itu keluarga pasien memiliki alasan yang sah untuk mengajukan gugatan. Kuasa hukum sudah menempuh upaya musyawarah kepada pihak RS tetapi hasilnya juga tidak memuaskan. Akhirnya kuasa hukum sebagai advokat atas kuasa para saudara Surti mengajukan gugatan ke Pengadilan.
b.    Analisa Kasus
1)        Dari kasus diatas dapat dianalisa bahwa hak yang harus Pasien dapatkan adalah :
a)   Mendapatkan perawatan medis sebagaimana mestinya
b)   Mendapatkan kenyamanan dalam menjalani terapi   Hemodialisa diruang terapi dengan sebagaimana mestinya.
c)   Mendapatkan fasilitas yang berkualitas pada saat pasien terapi Hemodialisa, sehingga tidak terjadi kerusakan pada alat seperti pada kasus di atas.
2)         Dari kasus diatas dapat dianalisa bahwa kewajiban pasien yang harus dilakukan yaitu :
a)   Menaati peraturan atau kaidah pengobatan yang sudah ditetapkan oleh dokter, supaya pasien segera dilakukan Hemodialisa, dan jangan menunda pengobatan.

3)         Dari kasus diatas dapat dianalisa bahwa kewajiban perawat yang harus dilakukan adalah :
a)   Menjaga pasien pada saat dilakukannya Hemodialisa, dan tidak bergerombol untuk membaca maupun menonton televisi pada saat terapi hemodialisa berlangsung.
b)   Mengecek alat-alat sebelum dilakukan Hemodialisa kepada pasien, agar tidak terjadi kerusakan pada alat terapi akibat kelalaian dari perawat yang tidak mengecek peralatan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk terapi sehingga hal tersebut dapat membahayakan pasien yang akan melakukan terapi.
c)      Menjaga keperawatan dan keselamatan pasien dari orang-orang yang tidak berwenang, dan tidak legal agar tidak masuk kedalam ruang terapi. Karena pada saat terapi berlangsung klining servis dapat masuk untuk menekan salah satu tombol pada alat terapi dengan bebas. Dan hal iu seharusnya menjadi tanggung jawab perawat untuk tidak melakukan suatu kecerobohan dan membahayakan pasien yang menjadi tanggung jawabnya.
4)   Dari kasus diatas dapat dianalisa bahwa hak perawat adalah :
a)      Hak meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada saat pasien sedang dilakukan terapi Hemodialisa.



Daftar Pustaka

Bertens, K.2002.ETIKA.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Dalami, Ermawati.2010.Etika Keperawatan.Jakarta:Trans Info Media
Herlambang, Susatyo.2011.Etika Profesi Tenaga Kesehatan.Yogyakarta:Gosyen Publishing
http://www.anes.web.id diakses pada tanggal 14 maret 2013