MALPRAKTIK
MEDIS
1. Bagaimana
gambaran kondisi saat ini menyangkut malpraktik medis?
Perubahan yang terjadi
dalam 20 tahun terakhir ini cenderung menciptakan masyarakat yang semakin
materialistis dan hedonistis, kecenderungan ini terjadi baik dikalangan
masyarakat umum maupun dikalangan tenaga kesehatan sendiri. Kemajuan teknologi
informasi utamanya internet, menjadikan informasi sangat mudah didapat oleh
siapapun dalam waktu sekejap. Masyarakat yang semakin terdidik dan pandai
semakin pula menyadari akan hak-haknya. Perubahan yang terjadi ini merubah
kebutuhan dan harapan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Mereka menuntut
konsep Hak Asasi Manusia dipakai sebagai acuan dalam semua kebijakan sosial dan
hukum, serta menuntut mutu pelayanan kesehatan yang tinggi. Dunia pelayanan
kesehatan bahkan merasakan bahwa masyarakat saat ini semakin mudah menuntut dan
menggugat ( bersifat litigious ),
serta memandang dokter, perawat, rumah sakit bukan lagi sebagai mitra penolong
yang dapat sepenuhnya dipercaya, namun sebagai pihak pemberi jasa layanan yang
harus diwaspadai karena “seringkali” merugikan masyarakat. Sebagai contoh
adalah fenomena kasus pasien Prita Mulyasari, bayi Dera, dan masih banyak lagi.
Logika masyarakat yang
mengartikan bahwa hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan harapannya adalah
selalu akibat kesalahan dari tenaga kesehatan atau malpraktik, tidak dapat
bertemu dengan logika medis (bahwa hasil dari tindakan medis itu penuh
ketidakpastian) yang memang sulit untuk difahami oleh masyarakat awam.
Fakta deskriptif
tentang Wabah global malpraktik.
Di Amerika (USA)
kesalahan medis menyebabkan kematian sebanyak 44-98 ribu pasien pertahun (
Kecelakaan lalu lintas 43. 458 ), data ini dikutip dari laporan Institute Of Medicine, To Err Is Human
(2000)
Bagaimana dinegara-negara
lain? Fahmi Idris (2007) menuliskan bahwa dinegara-negara maju trend pengaduan
terhadap kejadian malpraktik semakin meningkat, antara lain :
Di Jepang data dari
Mahkamah Agung terjadi peningkatan sebesar 100% dari 487 kasus di tahun ’95
menjadi 987 kasus di tahun 2003.
Di Singapore tahun 2003
dilaporkan selama periode 1999-2001 ada 601 orang dokter yang diadukan (total
dokter 5.608), dan 43,7% terbukti melanggar standard
of care.
Di Hongkong, berdasar
laporan dari Medical Protection Society
( asuransi) ganti rugi yang harus dibayarkan karena kejadian malpraktik
meningkat drastis dalam 10 tahun, dari HK $ 4000 pada tahun 1994 menjadi
rata-rata HK$ 12.000 pada tahun 2003.
Di Australia, hasil
audit dari 14.000 berkas rekam medis, maka 16,6% (2.324 kasus) mengalami KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan), dan 51% diantaranya (1.185 kasus) adalah merupakan
malpraktik, dimana sejumlah 114 kasus meninggal dunia dan 318 cacat permanen.
Bagaimana dengan
Indonesia? Sampai sekarang belum pernah ada publikasi resmi tentang hal ini
namun bisa dirasakan tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain. Seperti
dikemukakan oleh Hanafiah J (2007) ,data dari Persaudaraan Korban sistem
Kesehatan (PKSK) tahun 2005 terdapat 386 kasus dugaan malpraktik yang
dilaporkan ke polisi.
Kasus kesalahan oleh
perawat yang paling sering terjadi adalah :
Kesalahan
pemberian obat.
Kesalahan
yang berkaitan dengan pemasangan infus yang menyebabkan infeksi.
Luka
bakar akibat kurang hati-hati dalam kaitan pemakaian alat, memandikan,
pemberian makanan,dll.
Pasien
jatuh
Kesalahan
dalam teknik aseptis
Kesalahan
dalam penghitungan jarum atau alat lain yang digunakan dalam pembedahan.
Gagal
dalam memberikan laporan yang baik dan benar.
Gagal
dalam melakukan pengawasan pasien.
Gagal
dalam memberikan informasi bagi dokter tentang perubahan kondisi pasien. (
Perry&Potter, 2002)
Beberapa kasus yang
terjadi di Indonesia :
§ Seorang
dokter bersama rumah sakit di Semarang digugat oleh pasien, karena pasien
menderita kelumpuhan keempat anggota badannya setelah dilakukan operasi tulang
belakang ( pasien datang berjalan, pulang lumpuh total).
§ Rumah
sakit di Semarang, di somasi oleh pasien dalam kasus pasien bayi perempuan umur
2 bulan, terjadi luka bakar yang luas di pantatnya akibat pemanas pada saat
dilakukan operasi di kamar bedah, sehingga menimbulkan bekas yang buruk. Dalam
hal ini perawat dituduh lalai.
§ Sebuah
rumah sakit di Semarang digugat oleh orang tua pasiennya, yaitu seorang bayi
berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas bidai
yang dipergunakan untuk memfiksasi infus.
Kasus semacam ini
ternyata terjadi pula di Wonogiri, Karawang, Jakarta, bahkan di Malaysia dan
Inggris ( Guwandi, 2004).
§ Sebuah
rumah sakit di Semarang digugat oleh pasiennya karena pada sore sehabis
dilakukan operasi penyambungan tulang dengan plate and screw, pasien tersebut merasa sangat kesakitan sampai
sepanjang malam, tetapi perawat tidak memberitahu dokter, sehingga pada saat
dokter datang memeriksa lagi siang hari berikutnya, keadaan 2 jarinya sudah mati
dan harus dilakukan amputasi.
§ Sebuah
rumah sakit di Malang digugat karena seorang pasien bayi mati terpanggang di
meja operasi.
§ Sebuah
rumah sakit di Jakarta digugat oleh suami pasien, karena pasien meninggal
akibat gagal ginjal yang diduga karena kesalahan pemberian obat.
§ Seorang
dokter ahli kebidanan di Jakarta dilaporkan kepada polisi oleh pasiennya karena
anaknya mengalami kelumpuhan otot leher setelah pertolongan persalinannya
dengan vakum ekstraksi.
§ Seorang
residen ilmu bedah di Semarang disomasi oleh pasiennya yang mengalami infeksi
intra abdominal setelah menjalani operasi usus buntu.
§ Seorang
dokter spesialis THT dibacok pasiennya yang kecewa akibat dua kali operasi yang
dilakukan padanya tidak membawa hasil yang baik.
§ Seorang
dokter di Jawa Timur, dihukum 6 bulan penjara karena akibat pasiennya meninggal
dunia sesaat setelah mendapatkan suntikan bolus KCl secara intra vena.
§ Dan
masih banyak lagi kasus yang muncul kepermukaan, namun sebenarnya ini hanya
sebuah fenomena gunung es.
Apakah semua itu pasti
malpraktik? Jawabannya adalah belum
tentu, masih dibutuhkan kajian yang mendalam untuk membuktikan bahwa
kejadian-kejadian tersebut memang merupakan malpraktik, dan bukan risiko medis
atau yang lain, mengingat banyak faktor yang ikut mempengaruhi hasil dari suatu
tindakan medis.
2. Apakah
pengertian malpraktik medis itu?
Malpraktik berasal dari
kata mal ( Yunani ) yang berarti salah, buruk, dan kata praktik yang menurut
Kamus Umum bahasa Indonesia WJS Purwadarminta 1976 berarti menjalankan
perbuatan yang sesuai dengan teori atau menjalankan pekerjaan. Jadi secara
harfiah arti malpraktik adalah menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya,
atau salah ( Hanafiah J, Amir A, 2007).
Dalam praktinya istilah
malpraktik hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam
rangka pelaksanaan suatu profesi, oleh karena itu malpraktik disebut juga
sebagai professional negligence ( Tamparo
CD, Lewis MA, 2007).
Dari pengertian diatas,
maka malpraktik medis adalah tindakan dari tenaga kesehatan yang salah atau
buruk kualitasnya dalam rangka pelaksanaan profesi dibidang medis ( kesehatan
).
Pengertian “profesi”
sendiri tidak sama persis dengan pekerjaan atau mata pencaharian, walaupun
dalam kondisi tertentu dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah, seperti misalnya
profesi dokter dan perawat.
Malpraktik tentu saja
tidak hanya terjadi dilingkungan profesi kesehatan, namun juga profesi lainnya,
misalnya pengacara, akuntan publik, perbankan, dan wartawan.
3. Apa
saja macam-macam malpraktik?
Seperti kita ketahui
bahwa disetiap profesi berlaku norma etika dan norma hukum, maka malpraktik
juga dapat dilihat dari kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut malpraktik etikal (ethical
malpractice), dan dari sudut pandang hukum disebut malpraktik yuridis (yuridical malpractice). Karena antara
etika dan hukum terdapat perbedaan yang menyangkut substansi, tujuan, dan
sanksi (walaupun sumbernya sama yaitu moral), maka ukuran normatif untuk
menentukan ethical malpractice dan yuridical malpractice dengan sendirinya
juga berbeda. Sesuai dengan ruang lingkupnya, maka tidak setiap ethical malpractice itu juga merupakan yuridical malpractice, namun setiap yuridical malpractice sudah barang tentu
merupakan ethical malpractice. Yang
akan dibahas dalam topik ini secara lebih jauh adalah yuridical malpractice.
Malpraktik yuridis
dibagi menjadi tiga kategori sesuai dengan bidang hukum yang dilanggar ( Sowan
Dahlan, 2000) , yaitu :
a. Malpraktik
pidana ( criminal malpractice )
b. Malpraktic
perdata (civil malpractice ), dan
c. Malpraktik
administratif (administrative malpractice
).
Malpraktik
pidana (Criminal malpractice).
Suatu
perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal
malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana, yaitu :
§ Perbuatan
tersebut (active act maupun negative act) harus merupakan perbuatan
yang tercela (actus reus).
§ Dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea),
yaitu berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (recklessness), atau
kealpaan (negligence).
Contoh criminal malpractice yang bersifat intensional / kesengajaan antara lain :
-
Melakukan aborsi tanpa
indikasi medis
-
Melakukan euthanasia
-
Membocorkan rahasia
medis pasien
-
Tidak memberikan
pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan emergensi meskipun
tahu bahwa tidak ada tenaga kesehatan lain yang akan menolong (negative act).
-
Menerbitkan surat
keterangan yang tidak benar
-
Memalsukan data rekam
medis, dll.
( sebagai latihan
cobalah mencari contoh lain )
Contoh criminal malpractice yang bersifat
recklessness / kecerobohan antara lain:
-
Melakukan tindakan
medis / keperawatan tidak lege artis
-
Melakukan tindakan
medis tanpa informed consent.
Contoh criminal malpractice yang bersifat negligence / kealpaan antara lain:
-
Alpa / kurang hati-hati
sehingga meninggalkan gunting dalam perut pasien pada saat melakukan operasi.
-
Alpa/ kurang hati-hati
sehingga pasien luka-luka, cacat, atau meninggal dunia.
( sebagai latihan
cobalah mencari contoh dalam praktik sehari-hari)
Sanksi criminal malpractice adalah sanksi
pidana, tanggungjawabnya selalu bersifat individual (bukan korporasi), dan
personal ( hanya pada orang yang melakukan ). Tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau institusi ( misalnya rumah sakit).
Malpraktik perdata (Civil malpractice)
Seorang tenaga
kesehatan disebut melakukan malpraktik perdata apabila tidak melaksanakan
kewajibannya atau dengan kata lain ingkar janji, yaitu tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati ( wanprestasi).
Sebagai contoh, seorang
dokter bedah sepakat untuk melakukan sendiri operasi terhadap seorang pasien,
ternyata pada saat sudah sampai kedalam kamar operasi bukan dokter tersebut
yang melakukan operasi, melainkan asistennya. Dalam kasus seperti ini dokter
dapat digugat atas dasar civil malpractice untuk membayar ganti rugi
immateriil, yaitu perasaan cemas karena belum mengenal dan mengetahui reputasi
dokter pengganti tersebut sehingga takut kalau operasinya gagal.
Tindakan tenaga
kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
-
Tidak melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan (negative act).
-
Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan namun terlambat (positive act).
-
Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan namun tidak sempurna.
-
Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Perlu
diingat bahwa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan sifatnya adalah
kesepakatan untuk memberikan upaya maksimal dan bukan menjanjikan hasil ( inspaning
verbintenis)
Dalam
malpraktik perdata, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual,
maupun korporasi, dan dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan prinsip vicarious liability (respondeat superior). Sehingga rumah
sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter maupun
perawatnya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter atau perawat
tersebut dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Malpraktik
administratif (Administrative
malpractice)
Seorang
tenaga kesehatan dikatakan telah berbuat malpraktik administratif apabila ia
melanggar hukum administrasi negara. Dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan, maka pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan berbagai
peraturan dibidang kesehatan, termasuk peraturan tentang tatacara bagaimana
dokter maupun perawat menjalankan profesinya, batas kewenangannya, serta
kewajibannya. Apabila yang bersangkutan melanggar peraturan tersebut, maka
dapat dipersalahkan, dan dikenai sanksi administratif, misalnya dicabut STR
atau SIPnya, diberhentikan, dll.
Tindakan
yang dapat dikategorikan sebagai malpraktik administratif, antara lain:
-
Menjalankan pekerjaan
profesi tanpa memiliki STR.
-
Berpraktik tanpa
memiliki SIP
-
Melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan kewenangan dan ijin yang dimiliki.
-
Berpraktik dengan SIP
yang sudah kadaluwarsa.
-
Tidak membuat rekam
medis.
4. Bagaimanakah
pembuktian malpraktik?
Malpraktik pidana,
pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi atau tidaknya unsur pidananya, sehingga
tergantung dari jenis malpraktik pidana apa yang dituduhkan. Apabila seorang
dokter dituduh melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasiennya meninggal dunia, atau menderita luka
berat, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah
) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati.
Penting untuk disadari
bahwa tidak setiap hasil pengobatan atau perawatan yang tidak sesuai dengan
harapan adalah merupakan bukti adanya tindakan malpraktik pidana, sebab hasil
yang tidak sesuai dengan harapan tersebut dapat saja merupakan bagian dari
risiko tindakan medis, atau hasil dari berbagai faktor yang berkontribusi yang
kadang-kadang berada diluar kendali dokter ataupun perawat. Misalnya faktor
keganasan penyakit, faktor pasien, ataupun faktor manajemen. Dalam konteks ini
semua persangkaan harus dibuktikan unsur-unsur pidananya.
Apabila terbukti
bersalah, maka dokter ataupun perawat dapat dipidana sesuai jenis tindak pidana
yang dilakukannya. Oleh karena kesalahan dokter atau perawat merupakan suatu
kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapapun juga (penegak hukum) yang tidak memahami
profesi ini untuk membuktikannya, meskipun demikian bukan berarti kesalahan
dokter dan perawat tidak dapat dibuktikan.
Pada malpraktik
perdata, pembuktian dapat dilakukan dengan melalui dua cara, yaitu:
a. Cara
langsung.
Yaitu dengan
membuktikan adanya keempat unsurnya (4D) secara langsung, yang terdiri dari
unsur :
-
Kewajiban (duty)
-
Menelantarkan kewajiban
(derelection of duty)
-
Rusaknya kesehatan (damage)
-
Hubungan langsung
antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan (direct causation)
Kewajiban tenaga
kesehatan timbul jika secara afirmatif menerima suatu tanggung jawab untuk
melakukan tindakan sesuai dengan profesinya melalui adanya hubungan
kontraktual, baik yang dibuat atas beban, ataupun cuma-cuma. Selain itu jika
berdasarkan ketentuan yang ada ia wajib melakukan tindakan profesionalnya.
Menelantarkan kewajiban
terbukti apabila tenaga kesehatan melakukan tindakan profesionalnya dengan
kualitas dibawah standar, yaitu tindakan yang mutunya tidak menggambarkan telah
diterapkannya ilmu, ketrampilan, dan perilaku yang layak sebagaimana dilakukan
oleh kebanyakan tenaga kesehatan dengan keahlian yang sama ketika menghadapi
situasi dan kondisi yang sama pula. Untuk membuktikan hal ini diperlukan
kesaksian ahli dari seorang yang memiliki kesamaan keahlian dengan tenaga
kesehatan yang sedang diadili.
Rusaknya kesehatan
terbukti apabila pasiennya menjadi cacat, mengalami luka berat, atau meninggal
dunia. Jika pasien meninggal dunia perlu dilakukan otopsi, dan bila masih hidup
perlu dilakukan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan lain yang akan bertindak
sebagai saksi ahli.
Hubungan langsung,
terbukti apabila ada hubungan kausalitas antara rusaknya kesehatan dengan
tindakan tenaga kesehatan yang kualitasnya dibawah standar. Untuk membuktikan
hal ini juga diperlukan kesaksian ahli.
b. Cara
tidak langsung.
Cara ini dengan mencari
fakta-fakta berdasarkan doktrin Res Ipsa
Loquitor
( the things speak for it self), yang dapat membuktikan adanya
kesalahan di pihak tenaga kesehatan (dokter, perawat). Doktrin tersebut hanya
dapat diterapkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria berikut ini:
-
Fakta tidak mungkin
terjadi jika tenaga kesehatan tidak lalai.
-
Fakta yang terjadi
memang dibawah tanggung jawab tenaga kesehatan tersebut.
-
Pasien tidak ikut
berkontribusi terhadap timbulnya fakta itu (tidak ada contributory negligence).
Contohnya gunting yang
tertinggal dalam perut pasien pada saat menjalani operasi. Berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor gunting itu dapat
dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan dokter
karena memenuhi ketiga kriteria diatas.
5. Bagaimana
agar seorang tenaga kesehatan terhindar dari malpraktik?
Sebagai seorang tenaga
kesehatan (perawat profesional) yang harus dilakukan agar terhindar dari
malpraktik adalah :
a. Memiliki
kompetensi yang dibutuhkan. Dalam hal ini artinya selalu memelihara, bahkan
meningkatkan kompetensi profesionalnya ( belajar sepanjang hayat ).
Kompetensi profesional
disini mencakup unsur pengetahuan (knowledge),dan
keterampilan (skills), serta perilaku tindak (attitude) yang sangat penting atau yang sering kita kenal dengan soft skills. Perlu diketahui bahwa
adanya gugatan dan tuntutan pasien sebagian besar timbul karena sebab yang
berkaitan dengan soft skills atau perilaku
tindak dari tenaga kesehatan utamanya kemampuan dalam melakukan komunikasi dan
berhubungan dengan orang lain.
b. Patuh
pada rambu-rambu etika, dan tunduk pada
hukum.
c. Disiplin
dalam menjalankan peran profesi.
d. Bekerja
dalam batas kewenangannya.
e. Menghormati
hak pasien.
Pada akhirnya semua
upaya pencegahan terjadinya malpraktik medis harus bermuara pada keselamatan
pasien ( patient safety ), selain
juga memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan. UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah sakit mengamanatkan bagi semua rumah sakit dan tenaga kesehatan
untuk melaksanakan program patient safety
tersebut.
RANGKUMAN
Dalam
topik malpraktik ini telah dibahas tentang pengertian malpraktik sebagai suatu
tindakan yang salah dalam rangka melaksanakan profesi atau profesional
negligence, yang tidak hanya terjadi dalam profesi kesehatan, namun juga pada
profesi lain. Lebih lanjut juga dibahas tentang jenis-jenis malpraktik serta
sanksi dan pembuktiannya. Pada hakekatnya karena menyangkut pelaksanaan profesi
kesehatan, maka yang paling mengetahui adalah para pelaku profesi tersebut,
sehingga pihak-pihak diluar profesi ( termasuk penegak hukum) akan sulit untuk
dapat membuktikan adanya malpraktik. Walaupun demikian bukan berati malpraktik
medis tidak dapat dibuktikan. Sebagai tambahan wawasan dibahas kondisi saat ini
menyangkut malpraktik medis, dan pencegahannya, sehingga dengan mahami hal itu
diharapkan saudara dapat menjadi waspada, berhati-hati dan cermat dalam
bertindak, sehingga tidak merugikan pasien.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Fahmi
Idris ( 2007).
2. Guwandi
J,( 1996). Dokter, Pasien, dan Hukum, 1akarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Guwandi
J, ( 2004). Medical Law, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
4. Hanafiah
J; Amir A, ( 2007 ). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
5. Helm
A, ( 2003 ). Malpraktik Keperawatan, Menghindari masalah hukum, jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
6. Perry&
Potter (2001). Fundamentals Of Nursing 5th edition, St Louise USA, Mosby.
7. Sofwan
Dahlan ( 2000). Hukum Kesehatan, Rambu-rambu bagi profesi dokter, Semarang :
Badan Penerbit Universits Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar